RANAH MORALITAS MENJELANG PESTA DEMOKRASI

RANAH MORALITAS

 MENJELANG PESTA DEMOKRASI

 

Oleh

H.Musa Shofiandy

 

          “BANGSA ini semakin tidak bermoral” Itulah  kalimat awal yang ditulis Benny Susetyo, dalam bukunya yang diberi judul “Hancurnya Etika Politik”     . Kalau kita baca sepintas kalimat ini, mungkin kita akan menjadi gerah bahkan mungkin saja marah besar, karena sebagai  bangsa yang beradab, yang  sangat menghargai dan menjunjung tinggi adat istiadat  ketimuran, menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan dan kesopanan, sangatlah tidak wajar untuk mengkategorikan bangsa Indonesia tercinta ini, sebagai bangsa yang tidak bermoral bahkan semakin tidak bermoral. Namun kalau kita coba merenung dalam keheningan, menelusuri jejak langkah aktual, melihat dan mencermati kilas balik perjalanan perilaku para pengatur bangsa ini, maka ungkapan pemikiran Benny Susetyo akan kita benarkan. Dengan pembenaran kita ini, tidak berarti bahwa kita harus semakin terlarut dalam kesedihan memikirkan nasib jutaan rakyat Indonesia ini, tetapi hendaknya kita jadikan dorongan semangat untuk “bersama dalam kebenaran” menghilangkan dan membumi hanguskan berbagai fakta dan tindakan yang melandasi munculnya statement-statement yang berbau negatif terhadap bangsa kita tercinta ini.

          Sejujurnya, apa yang sebenarnya kita harapkan dari bangsa sebesar Indonesia ketika perjalanannya meniti peradaban justru semakin jauh meninggalkan moralitas? Apa pula yang kita cita citakan sebagai Indonesia jika pondasi yang kita bangun saat ini dinodai dengan keserakahan, kesombongan, kebohongan dan ketidakadilan? (Susetyo, 2004). Noda-noda hitam yang merasuk moral seseorang, khsusnya para pengatur atau penyelenggara negara ini, senyatanya telah merabah bebas disetiap lini kehidupan masyarakat, semakin maju dan berkembangnya kemampuan dan pengetahuan para pengatur dan penyelenggara negara ini, membawa dampak pengaruh yang amat besar terhadap kemampuannya untuk mencari dan menemukan kata dan ungkapan kata pembenar yang tidak benar, yang dijadikan selimut kebohongan, mereka lupa bahwa masyarakat juga punya otak, punya hati nurani, punya daya nalar dan kepekaan yang berkembang pula, sehingga selimut-selimut kebohongan mereka lambat laun akan terkuak pula. Kita lupa bahwa ajal ini memburu kita yang kita tidak pernah akan tahun pasti kapan kita akan tertangkap untuk dijebloskan ke liang lahat.

          Rupanya taktik dan strategi “membohongi publik/masyarakat” telah pula melekat dan dipraktekkan oleh para calon pemimpin kita, para calon wakil rakyat menjelang Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 mendatang.

          Suatu hari ketika penulis pulang kampung ke Lombok Timur, sampai di rumah kebetulan penulis menemukan keluarga lagi kumpul-kumpul di “brugak”. Tidak berapa lama setelah penulis ikut nimbrug bersama keluarga tadi, salah seorang misan penulis nanya pada penulis  dengan mengatakan : “Kak, apa kakak kenal dengan si Ahmad (maaf nama samaran) tanyanya , penulis jawab ; tidak kenal, sama sekali tidak kakak kenal, memangnya kenapa, penulis balik nanya.  Misan tadi kemudian cerita dengan mengatakan : Beberapa hari yang lalu si Ahmad (disebut nama jelasnya) datang kemari, dia menyampaikan Salamnya kakak, katanya dia dekat sekali dengan kakak, dan dia menyuruh saya kemari bertemu sama keluarga disini untuk minta dukungan dari keluarga disini, katanya. Loh.. dukungan apa ? penulis bilang. Misan tadi kembali menjelaskan, Dia itu kan calon anggota DPRD untuk Provinsi dari Partai A (disebut nama Partainya), dan dia minta supaya semua keluarga disini memilih dia, ungkap misan tadi. Penulis langsung menjelakan, bahwa sama sekali saya tidak mengenal orang itu (si Ahmad), tidak pernah ketemu, apalagi mau nitip pesan segala. Jadi saya minta sama semua keluarga, agar tidak lagi percaya sama orang-orang yang membawa-bawa nama  saya, kalaupun saya akan mendukung salah satu calon, apakah itu untuk DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR Pusat maupun untuk DPD, saya pasti beritahu langsung sama keluarga, tidak lewat perantara, lagi pula saya ini seorang abdi negara, Pegawai Negeri yang harus netral, tidak boleh ikut serta dalam dukung mendukung Calon legislatif, ungkap penulis. Tidak lama setelah itu, seorang keponakan penulis yang ikut hadir dalam pertemuan di brugak itu juga bicara dengan mengatakan ; Seminggu yang lalu juga  si B (disebut nama jelasnya) datang ke rumah saya dan menyampaikan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh si Ahmad tadi, dan malah si B (lagi disebut namanya) membawa mesin diesel ke rumah, katanya sumbangan untuk masyarakat disini, ungkap ponakan tadi. Penulis langsung jawab, sama juga, saya tidak mengenal si B, apalagi pernah ketemu atau untuk menitip salam agar dia didukung (dipilih) dalam Pemilu mendatang, Sama sekali tidak benar itu, besok atau kapan saja dia datang lagi kemari, tolong telpon saya biar saya ngomong langsung dengan orangnya, dan sekarang mesin diesel yang dibawa itu ditaruh dimana ? ungkap penulis. Keponakan tadi menjawab, masih dirumah, memang waktu itu saya tidak mau terima, tapi dia bersikeras meningggalkannya di rumah, ungkapnya. Kalau gitu tolong segera kembalikan mesin diesel itu kepada orangnya, bila perlu hari ini juga, balas penulis, karena perbuatan dan tindakan Calon Legislatif itu seperti itu tidak boleh, malah perbuatan itu termasuk dosa, ungkap penulis sedikit menggurui. Betrul kak, ungkap salah seorang yang hadir di brugak itu. Beberapa hari yang lalu pernah ada keluarga yang mendatangi Bapak Tuan Guru di Jerowaru (maksudnya TG.H.Moh.Sibawaihi Mutawalli) menanyakan perihal pemberian mesin oleh Caleg itu, karena dibeberapa tempat juga terjadi seperti itu, kamudian Bapak Tuan Guru langsung bilang, Tidak boleh, itu perbuatan Haram, ungkap Bapak Tuan Guru, jelas keluarga tasi. Nah itu,… kan betul, tindakan seperti itu adalah perbuatan haram, ungkap penulis. Salah seorang lagi yang tidak tahu apa-apa (buta huruf) nyeletuk mengatakan : Aro.. meni  bae.. nani..jak…kan Caleg-caleg nu, kan baruk ne dateng tipak masyarakat waktu ne arak kemelek ne doang, lemak lamun uah mauk jak, telang ne wah.. endekte daet elong ne, lemak karing lime tahun barune dateng malik, nani jak.. mah maeh doang, arak jak kepeng ne yang ne beng ite, baru te pilik e, lamun ndek arak jak.. Wassalam, ungkapnya. Lagi-lagi penulis jawab : Itu juga tidak boleh, karena saudara memilih wakil-wakil rakyat karena uang, bukan berdasar hati nurani yang jernih, bukan karena pertimbangan tabeat atau tingkah laku serta pribadi calon yang bersangkutan, tidak boleh kita seperti itu, balas penulis……….. Sedikit obrolan santai di atas menandakan bahwa, sekarang ini, moralitas sebagian dari para Calon Legislatif sudah tidak dapat dikategorikan memiliki moralitas yang mumpuni, segala cara dia lakukan hanya untuk mendapatkan simpati dan atau suara rakyat, yang penting dia didukung, dipilih dan berhasil jadi anggota Legislatif (DPRD, DPR dan DPD). Rendahnya atau kurangnya  moralitas para calon wakil rakyat itu, akan berpengaruh besar terhadap moralitas masyarakat, karena mereka para calon Legislatif itu mengajarkan masyarakat untuk tidak bicara dan berbuat sesuai isi hati nuraninya, tapi semua didasarkan atas materiel (uang  dan atau benda lainnya). Kalau keadaan ini akan dibiarkan terus menerus, maka adalah sangat wajar kalau Paulus  Mujiran (2004) menyebut Republik Indonesia  tercinta ini sebagai “Republik Para Maling” dan kalau saja keadaan ini akan terus berlangsung, apa yang akan terjadi di negeri yang 90 persen lebih penduduknya beragama islam ini ?

          Lebih jauh,Rasa pesimistis itu diungkap pula oleh Paulus Mujiran dengan mengatakan “ Rasa pesimis membayang, jika mengharapkan Indonesia yang ber adab, bermoral, demokratis, karena elit politik tidak berani memulai dengan konsisten”.

          Benny Susetyo mengatakan :” Inilah wajah Republik di mana para elit politik dan pemimpinnnya sudah tidak lagi memiliki suara dan mata hati. Suara dan mata hati, sebagai pusat kedalaman hidup yang mencerminkan perasaan dan pikiran, telah mati di kalbu para pemimpin kita. Perasaan mereka sudah kehilangan empati terhadap rakyatnya. Rakyat hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencapai sebuah kekuasaan yang ditargetkan. Jika kekuasaan sudah diraih dan kursi sudah diduduki, maka ‘ Selamat Tinggal Rakyat.! Rakyat baru dibutuhkan ketika kekuasaan membutuhkan  suara mereka untuk mendapatkan kursi, setelah kursi diraih, maka yang berlaku adalah tinggal gelanggang colong playu” ungkap Benny.

          Ketika mereka butuh rakyat, berbagai cara dilakukan, seribu satu kata-kata manis dan bijak keluar tanpa sadar dari mulut mereka, tanpa berfikir akibat dari kata dan kalimat yang dikeluarkannya, seribu satu janji pula diucapkan tanpa berfikir, betapa beratnya janji yang sudah kita ucapkan.

Keadaan seperti ini sebenarnya jauh hari sudah diingatkan oleh Nabi dan Rasul  kita Muhammad SAW, dengan sabda beliau : “Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu, di atas mimbar ,mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana tetapi diluar mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari pada bangkai” (HR. Ath. Thabrani).

          Banyak bukti riel kita lihat dan dapatkan di Bumi Nusantara ini, bahwa ketika mereka berkuasa, dia bertindak semaunya, hukum dimanipulasi dengan berbagai argument kampungan. Makanya tidak salah kalau Thomas Hobbes, ribuan tahun lalu mengatakan bahwa, “manusia cendrung mau menguasai manusia lainnya, yakni dengan mengubah dirinya menjadi serigala yang menerkam ke sana-sini”

Masalah jati diri dan nama baik sudah tidak lagi seperti ungkapan dahulu bahwa “lebih baik mati dari pada kehilangan nama baik” seperti di ungkap oleh Dwight L Moody, “Saya memelihara karakter dengan berusaha memelihara reputasi saya sendiri” ungkap Moody. Namun zaman sekarang ini kebanyakan elite politik kita sudah membalik logika di atas. Bagi mereka, lebih baik tak punya nama baik jika demi nama baik itu justru kehilangan jabatan sebagai pemimpin atau penguasa. Mereka berlomba-lomba menjadi pemimpin, padahal mereka tak layak jadi pemimpin. Dengan menjadi pemimpin atau penguasa bagi mereka tentu uang gampang dicari, rakyat gampang dikelabui dan berbagai praktek tipu daya lainnya. Bagi mereka, hanya uang, jabatan dan kekuasaanlah yang harus dicapai bukana kedamaian dan kesejukan. Demi itu semua nilai-nilai untuk memperjuangkan nasib rakyat secara tulus dan luhur, lenyap  ditelan bumi. Ketaatan mereka bukan pada etika daqn moralitas demokrasi, tetapi kepada “demi uang”.  Bagi mereka, uang adalah segalanya, demi ini semua mereka rela kehilangan nama baik, mereka menganggap bahwa dengan uang nama baik bisa dibeli. Masya Allah…………………..

Mereka tidak sadar dan tidak pernah mau sadar bahwa di tengah kemelaratan Bangsa Indonesia saat ini, justru mereka berusaha mati matian memperebutkan posisi menjadi pemimpin, penguasa dan atau menjadi wakil rakyat dengan melupakan reputasinya. Mengapa ini terjadi ? Karena mereka telah kehilangan ketulusan hati, mereka menjadi gila hormat, gila jabatan dan gila harta. Inilah yang membuat mereka menjadi silau dan menutup pintu hatinya untuk berbuat kebaikan dan kebajikan, mereka lupa bahwa setiap saat Malaikat Jibril akan mencabut nyawanya dan akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang pernah dilakukan selama ia menikmati hidup di dunia ini. Mereka selalu berfikir bahwa hanya dirinyalah yang paling benar dan tahu. Semua itu bersumber dari hilangnya cinta sejati dalam satu kalbu mereka, akibatnya mereka tidak peduli lagi terhadap aspirasi rakyat yang memilih mereka. Semua janji dimasa lalu sirna karena ambisi pribadi yang lebih kuat daripada ketulusan. Tindakan dan perilaku seperti inilah yang dikategorikan sebagai perilaku yang tidak bermoral.

          Dengan keadaan yang sudah mendunia ini, dan berangkat dari filosofi keberadaan manusia sebagai hamba Allah, dalam menjalani kehidupan bersama ditengah hamparan noda dan dosa dunia ini, kita diharuskan  untuk saling mengingatkan antar sesama, agar moral individu yang mendasari moral bangsa ini, benar-benar mewujudkan diri kedalam hati dan jiwa yang bermoral.

          Apa sih sebenarnya moral (moralitas) itu ?

Moralitas adalah kesadaran jiwa terdalam dari tiap-tiap manusia, kesadaran hati nurani untuk menghormati dan mencintai sesama, membela kaum tertindas, bersikap altrulistik dengan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme. Dengan pengertian ini, maka masalah moral terpatri  dalam diri masing-masing manusia, tidak pandang nama, umur, jenis kelamin, kedudukan dan jabatan seseorang, namun kalau kita mau jujur mengatakan bahwa individu manusia yang bermoral harus ditunjukkan oleh individu yang menjadi panutan masyarakat (para pemimpin masyarakat).

          Bagi masyarakat Bumi Gora Nusa Tenggara Barat, saat ini adalah waktu yang tepat untuk kita bicarakan dan saling mengingatkan betapa penting dan urgennya masalah moral ini, karena beberapa hari lagi kita akan melakukan pemilihan dan menentukan wakil-wakil rakyat yang akan bertanggung jawab untuk menyuarakan dan memperjuangkan nasib rakyat Indonesia. Sebagai wakil rakyat mereka para Calon Wakil Rakyat itu harus lebih bermoral dari pada rakyat yang diwakilinya. Sebagai masyarakat yang menghendaki wakilnya  yang bermoral keadilan dan kebenaran, amat sangat tepat untuk kita bercermin melihat, memperhatikan dan mengintrosfeksi moralitas moral kita dan moralitas para calon-calon wakil kita.

Kenapa harus melihat, memperhatikan dan mengintrosfeksi kembali moral dan moralitas diri kita ? Ini perlu karena sebelum kita melihat, memperhatikan dan menilai moralitas orang lain termasuk moralitas calon pemimpin kita, maka kiat kita, harus tau dulu sampai sejauhmana dan sudah seberapa jauh dan seberapa besar nilai moral yang kita miliki, agar kita tidak terjebak dan terperangkap dalam arus permainan kultur politik yang semakin menggila.

Untuk mendapatkan pemimpin dan atau wakil-wakil kita yang bermoral, tidak akan mungkin bisa tanpa dipilih dan ditentukan oleh orang-orang yang bermoral. Kalau yang memilih dan menentukan itu tidak bermoral, maka otomatis akan menghasilkan pemimpin yang tidak bermoral pula. Untuk itu pula, maka adalah wajar dan sangat wajar kalau kita sebagai hamba Allah yang hidup dalam serba keterbatasan ini untuk mau menerima dengan ikhlas dan tulus berbagai masukan dan atau kritikan-kritikan tajam yang terkait dengan ranah moralitas kita. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala Memberkahi kita semua…… Amien

                                                         Mataram, 10 Maret 2009.

 

                                                   Penulis adalah Pemerhati masalah

                                                       Sosial Kemasyarakatan NTB.